(Sumber: Sardjono, V.1977. Kembalinya Saudara yang Hilang. Jakarta: PT Sahid & Co Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.)
Meskipun Timor Timur telah dijajah oleh Portugis selama 450 tahun namun kebudayaan asli masih dapat bertahan. Pada dasarnya kebudayaan asli rakyat Timor Timur hampir tidak berbeda dengan kebudayaan Timor Barat. Dan bila diteliti dan dibandingkan dengan kebudayaan daerah Indonesia lainnya juga tidak jauh berbeda. Sebagai contoh adalah pakaian adat yang merupakan pakaian kebesaran kepala suku, mirip sekali dengan pakaian adat daerah Tapanuli, terutama sarung dan selendangnya (yang tidak banyak berbedadengan ulos Batak). Ikat kepalanya juga sejenis dengan ikat kepala daerah-daerah di Sumatera.
Demikian pula pedangnya seperti pedang yang terdapat di daerah Indonesia lainnya.
Tari perangnya dengan menggunakan 2 (dua) buah pedang terhunus, diayunkan secara bergantian yang satu di atas dan lainnya di bawah. Kemudian diiringi dengan irama gendang yang bentuknya seperti gendang Jawa tetapi hanya ditutup sebelahnya saja. Diiringi pula irama gong yang semuanya itu mengingatkan kita kepada tari Reog Ponorogo di Jawa Timur.
Tapi perang tersebut diselingi tarian wanita yang iramanya mirip dengan tari Tor-tor di pulau Samosir, hanya langgam gayanya berputar dalam satu lingkaran seperti tarian dolanan (jamuran) di Jawa Tengah. Dengan tari semacam ini mereka sanggup menari semalam suntuk. Di lihat dari segi tari perang ini dapat disimpulkan bahwa rakyat/ penduduk pribumi (Timor Timur) suka/ pandai berperang. Dan kenyataannya memang begitu, bila diperhatikan peristiwa di Timor Timur akhir ini.
Di samping seni tari, penduduk Timor Timur juga memiliki adat kebiasaan yang unik. Baik laki-laki maupun wanita mengenal adat makan sirih. Akibat makan sirih ini maka gigi penduduk Timor Timur kadang hitam.
Adat lain yang Nampak di Timor Timur adalah bila keluarganya ada yang meninggal dunia, keluarga yang lain memakai tanda berkabung dengan kain warna hitam pada bahu sebelah kiri, seperti kalau keluarga Cina ada yang meninggal dunia.
Mengenai kebiasaan berpakaian. Akiba penjajahan Portugis cara penduduk terpaksa menyimpang dari adat kebiasaan orang Indonesia pada umumnya. Mereka hanya memakai sarung dan baju ala kadarnya saja. Kadang-kadang bahkan tidak memakai baju sama sekali. Bila mana mereka memakai kain sarung, mereka tidak memakai celana dalam. Meereka tidak pernah memakai celana panjang karena ketika penjajahan Portugis masih berkuasa penduduk memakai celana panjang diidenda oleh Pemerintah Portugis. Sebagai akibat dari kejamnya penjajah Portugis ini penduduk asli Timor tidak berani masuk kota di mana di situ tinggal orang Portugis.
Efek lain sebagai akibat kerasnya penjajahan Portugis mempengaruhi penduduk dalam hal membuat rumah. Di bidang pembuatan rumah penduduk terpaksa menyesuaikan dengan keadaan. Waktu itu rakyat tidak mampu membuat rumah dari tembok dengan atap genting. Bila ada yang mampu ijinnya pun sulit didapatkan. Dan bilamana diijinkan pajaknya pun tinggi sekali. Karena itu penduduk cukup membuat rumah dengan bambu atau kayu yang atapnya dari atap atau daun alang-alang atau siwalan. Namun demikian seni mereka tidak pula mereka ditinggalkan. Banyak penduduk membuat rumah seperti bentuk rumah di Jawa. Yaitu limas an dan ada pula bertingkat seperti para-para.
Di samping kebudayaan asli, yang perlu diutarakan di sini adalah kebudayaan Portugis yang masuk ke dalam kebudayaan Timor.
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkirikeberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaankelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerahbersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimanamereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayahdengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir,dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradabankelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda.Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga
mempengaruhi proses asimilasikebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang adadi Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesiaturut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaanagama tertentu.
Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkatkeaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragamanbudaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteksperadaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyaikeunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yangdirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia.
Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu.Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang pentingdalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgunganperadaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalamberinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik danmengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu. Sehinggatidak salah jika Indonesia dikatakan sebagai pusat peradaban dunia, sebagaimana banyak parapeneliti barat yang telah mengungkap hal itu.
(Sejarah indonesia dengan Timor Leste)
Program Studi Ilmu Pemerintahan Semester V STISIPOL Raja Haji dan Tanjungpinang-Kepulauan Riau dan Wartawan Tabloid Suara Mahasiswa
Tepat pada 4 September 1999 di Dili dan di PBB hasil jajak pendapat masyarakat Timor Timur tentang pilihan untuk menerima otonomi khusus atau berpisah dengan NKRI diumumkan. Dan akhirnya, 78,5 persen penduduk menolak otonomi khusus dan memilih untuk memisahkan diri dari NKRI. Sejak itulah, isu disentegrasi bangsa menjadi suatu persoalan yang tidak bisa dinomorduakan sebab bukan tidak mungkin muncul “kecemburuan” dari daerah lain yang merasa dirinya kaya dan mampu mengurus daerahnya sendiri memilih memisahkan diri juga dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untunglah, kekhawatiran itu tidak terjadi pasca Timor Timur menyatakan sikap untuk membuat negara sendiri yang kini bernama Timor Leste. Meskipun demikian, ancaman-ancaman untuk merobohkan bangunan NKRI selalu saja terbit ketika bangsa ini lemah dan lengah. Namun, siapakah pelaku yang mencoba merobohkan kebhinekaan Indonesia? Kalau boleh jujur, ini adalah lagu lama. Permusuhan dan permainan negara-negara yang merasa dirinya digdaya antara AS yang berkiblat pada ideologi liberalis dan negara-negara yang beraliran komunis.
Ada benarnya, apa yang ditulis oleh wartawan Batam Pos pada Selasa (28/8), Bung Abdul Latif dalam tulisannya di kolom opini, “DCA, Ancam Integritas Bangsa” bahwasanya ada intervensi atau campur tangan AS (Amerika Serikat) dalam perjanjian DCA antara Indonesia dan Singapura. Kekhawatiran ini, menurut hemat penulis bukanlah sesuatu hal yang mengada-ada, tetapi perlu dicermati bersama format seperti apa yang kita butuhkan untuk menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa. Oleh sebab itu, ada baiknya kita belajar banyak dari sikap Timor Timur mengapa masyarakat di sana lebih memilih berpisah daripada bergabung dan menerima otonomi khusus dari pemerintah RI.
Bergabungnya Timor Timur sebagai propinsi ke-27 di masa pemerintahan Presiden Soeharto merupakan suatu cerita panjang bagi kehidupan kesejarahan dunia global umumnya dan khususnya bagi Indonesia. Bagaimana tidak, propinsi yang pernah dirasuki dan dikuasai Portugis itu, sekarang telah mengingkari ‘janji’-nya sendiri. Sebuah kesepakatan untuk setia kepada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, dibalik bergabungnya Timor Timur itu masih menyimpan teka-teki.yang mungkin tak terlalu sulit untuk dijawab. Mengapa negara lain khususnya Amerika Serikat mendukung pada saat disahkan RUU tentang integrasi Timor Timur ke wilayah Republik Indonesia. Ada apa, toh Amerika sebagai negara yang mengaku dirinya adalah negara super power atau adi daya tidak memperoleh keuntungan materi dari disahkannya RUU itu menjadi UU. Aneh tapi nyata, segala kesulitan-kesulitan yang dihadapi Indonesia selalu dibantu oleh negara penganut paham liberal tersebut. Khususnya tentang loby pihak Amerika kepada negara-negara lain untuk mengakui bahwa Timor Timur telah resmi bergabung dengan Indonesia.
Negara-negara lain biasanya mengamini saja kalau Amerika yang mempunyai kemauan. Akan tetapi, itu semua belum dapat menjawab teka-teki yang penulis katakan tak sulit untuk dijawab tadi. Inti dari “belas kasih” negeri yang sekarang dipimpin George W. Bush ini merupakan umpan empuk yang dipergunakan untuk memberangus paham atau ideologi komunis.
Kalau Timor Leste saat itu tidak bergabung, maka Amerika tentu akan merasa sulit untuk menyuntikkan paham-paham liberalnya, karena saat itu paham komunis terlebih dahulu masuk daripada paham yang mereka anut. Sementara, komunis bagi mereka adalah faktor penghambat sekaligus penghalang bagi mereka untuk menguasai dunia, sehingga membuat mereka menyusun kekuatan dengan pemerintah Indonesia pada saat itu untuk memberangus komunis di Timor Timur.
Bantuan setengah hati dari Amerika itu membuat Indonesia terbuai. Ketika paham komunis telah berhasil mereka tumpas, maka mereka mulai lepas tangan. Sehingga, pemerintah Indonesia terhanyut dalam kegamangan dan kekayaan propinsi-propinsi yang berpotensi besar menyumbangkan “upetinya” ke pemerintahan pusat. Selanjutnya, Timor Timur menjadi ‘anak adopsi’ yang tak terurus. Mereka hanya diberikan ‘uang jajan’ selebihnya dibiarkan.
Timor Timur: Upaya Amerika Memberangus Komunis
Memang secara fisik Amerika tidak sedikit pun mempengaruhi apalagi menjajah Timor Timur untuk digali hasil kekayaannya secara materi, tetapi intervensi yang mereka lakukan hanyalah semata-mata untuk menolong dan mendukung Timor Timur, sehingga mereka mencari teman terdekat untuk diajak kerjasama yaitu Indonesia. Perbuatan yang kelihatannya terpuji menyimpan maksud terselubung yaitu terciumnya bau komunis di wilayah itu. Jadi, dengan bergabungnya Timor Timur dengan Indonesia, Amerika berharap, ideologi itu dapat diberangus guna mempermudah dan memuluskan paham modernisasi.
Sebagaimana yang ditulis Andi Yusran (1999: 128) bahwasanya masalah Timor Timur sebenarnya tidak melulu masalah politik, melainkan juga adalah persoalan hukum, persoalan yang selalu mengedepan saat ini dan sebelumnya adalah tidak adanya kepastian hukum bagi status Timor Timur, sejarah mencatat bahwa sejak awal integrasi (1975), integrasi tersebut tidak mendapat pengakuan dari PBB, namun demikian negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Australia, justru lebih awal memberikan dukungan, bahkan sejarah juga menunjukkan kalau AS “terlibat” dalam proses tersebut.
Masih menurutnya, dukungan negara-negara barat atas integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI itu bernuansa politik strategis, yakni usaha membendung pelebaran sayap komunisme, karena Fretelin yang sebelumnya telah memproklamirkan kemerdekaan atas Timor Timur secara sepihak (Nov 1974), dianggap beraliran Marxis. Dalam konteks ini, maka wajar jika Indonesia merasa telah di atas angin, karena telah mendapat dukungan AS dan negara Barat lainnya, konsekuensi dari semua itu Indonesia menjadi lengah (setengah hati?) tidak memperjuangkan status hukum atas Timor Timur, padahal sekiranya Indonesia mengangkat isu keabsahan Timor Timur di forum PBB minimal sebelum perang dingin berakhir (1989), besar kemungkinan AS beserta sekutu baratnya akan menjadi negara pertama yang mengakui integrasi tersebut.
Bermula dari perang saudara di Timor Timur, Fretelin golongam yang beraliran Marxis mendapat bantuan persenjataan. Bantuan persenjataan yang berasal dari Portugis menjadikan mereka kelompok yang berkuasa khususnya di daerah Dili. Pada 28 November 1975 secara sepihak Fretelin memproklamasikan berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur dengan Xavier do Amaral sebagai presidennya, Ramos Horta sebagai menteri luar negeri dan Nicola Lobato sebagai perdana menteri.
Namun, proklamasi ini tidak mendapat dukungan dari masyarakat Timor Timur sendiri. Demi mewujudkan impiannya, Fretelin kemudian melakukan tindakan pembersihan terhadap lawan-lawan politiknya untuk menguasai wilayah Timor Timur sehingga terjadilah perang saudara. Fretelin sebagai partai beraliran komunis terpaksa menghadapi empat partai lain yang juga menguasai wilayah Timor Timur. Empat partai (UDT, Apodeti, KOTA dan Trabalista) yang menggabungkan kekuatan itu, melakukan proklamasi tandingan yang dikenal sebagai Proklamasi Balibo pada 30 November 1975 yang menyatakan diri bergabung dengan Indonesia pada 7 Desember 1975.
Selanjutnya, pasukan Indonesia membantu keempat partai tersebut untuk melumpuhkan kekuatan Fretelin. Pernyataan integrasi masyarakat Timor Timur ke Indonesia di Balibo diulang kembali oleh para pendukungnya di Kupang (NTT) pada 12 Desember 1975. Melalui pengulangan proklamasi terebut, maka para pendukungnya sepakat membentuk Pemerintahan Sementara Timor Timur (PSTT) pada 17 Desember 1975 yang beribukota di Dili dan dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo sebagai ketua dan wakilnya Francisco Xavier Lopez da Cruz serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diketuai oleh Guilherme Maria Gonsalvez dengan wakilnya Gaspocorria Silva Nones.
Pada 31 Desember 31 Mei 1976 saat sidang DPR tentang masalah Timor Timur dikeluarkan petisi yang mendesak pemerintah RI untuk secepatnya menerima dan mengesahkan integrasi Timor Timur ke dalam negara kesatuan RI tanpa referendum. Integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI diajukan secara resmi pada 29 Juni 1976. Dan seterusnya, pemerintah mengajukan RUU integrasi Timor Timur ke wilayah RI kepada DPR RI.
DPR melalui sidang plenonya menyetujui RUU tersebut menjadi UU Nomor. 7 Tahun 1976 pada 17 Juli 1976 dan ketentuan ini semakin kuat setelah MPR menetapkan TAP MPR No. VI / MPR/ 1978. Walhasil, Timor Timur menjadi Propinsi Indonesia yang ke-27. Dan propinsi yang baru lahir tersebut memiliki 13 kabupaten yang terdiri dari beberapa kecamatan. Ketigabelas kabupaten itu adalah Dili, Baucau, Monatuto, Lautem, Viqueque, Ainaro, Manufani, Kovalima, Ambeno, Bobonaru, Liquisa, Ermera dan Aileu. Arnaldo dos Reis Araujo dan Franxisco Xavier Lopez da Cruz diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi gubernur dan wakil gubernur yang selanjutnya dilantik oleh Amir Machmud sebagai Menteri Dalam Negeri pada 3 Agustus 1976.
Persoalan Belum Selesai
Bergabungnya Timor Timur ke wilayah Indonesia bukan berarti persoalan Timor Timur selesai begitu saja. Sementara, bagi pemerintah RI Timor Timur telah sah bergabung wilayah Indonesia dan menganggap ancaman disintegrasi kecil kemungkinan untuk terjadi. Kelompok-kelompok penekan yang menentang integrasi memang tak dapat tumbuh dan berkembang di masa itu, tetapi mereka terus bergerilya menyusun rencana dan mencari moment yang tepat untuk bergerak meneruskan perjuangan mereka untuk lepas dari wilayah Republik Indonesia.
Memang tokoh-tokoh sentral yang mengingkari pengintegrasian tersebut seperti Alexander Kay Rala alias Xanana Gusmao telah ditahan oleh pihak-pihak yang berwenang di lingkungan pengamanan pada Era Orde Baru. Dan itu tak lepas dari peran Presiden Soeharto yang jeli melihat aksi-aksi kritis yang mencoba memecah belah persatuan.
Di dunia internasional, Portugal yang memasuki wilayah Timor Timur pertama kali mempersoalkan propinsi yang berlambang dasar perisai berbentuk persegi lima tersebut. Indonesia menganggap ini bukan sesuatu yang membahayakan dan menganggap hal ini biasa-biasa saja karena memandang masalah Timor Timur sudah selesai dan Timor Timur telah mereka anggap sebagai anak kandung yang paling bungsu. Selalu dimanja dan dipuja-puja. Pemerintah telah memberikan bantuan dana bagi daerah ini sebesar 92 persen untuk tahun 1998.
Meskipun demikian, Dewan Keamanan PBB, terus mengobok-obok bergabungnya Timor Timur ke wilayah Indonesia dan mereka belum mengakui integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Seperti yang ditulis Nico Thamien R (2003: 46) dalam bukunya yang berjudul. “Sejarah untuk Kelas Tiga SMU”,
“Posisi Indonesia semakin sulit ketika terjadi peristiwa Santa Cruz pada bulan November 1991 yang menimbulkan korban jiwa. Peristiwa ini memperkeras kritik dunia internasional dan lembaga-lembaga non pemerintah terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, bukan berarti pemerintahan Indoenesia lepas tangan begitu saja. Sejak tahun 1980 sebenarnya mereka telah mencium bau yang tak sedap ini dan sering melakukan pembicaraan rutin dengan Portugal, tetapi pembicaraan itu tak mencapai titik temu.”
Hingga pemerintahan Soeharto mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan. Angin disentegrasi yang semula sepoi-sepoi berhembus, sekarang hembusannya semakin kencang. Apalagi bos CNRRT (Conselho Nacional de Resistencia Timorese) yang merupakan tempat oposisi Fretelin bergabung setelah disudutkan, Xanana Goemao telah dilepaskan. Rencana apik yang telah dia susun di dalam kerangkeng semakin mudah dia lakukan bersama konco-konconya.
B. J Habibie yang menggantikan mantan presiden Soeharto mau tidak mau turut tertimpa masalah dan beragam krisis termasuk krisis disentegari di Timor Timur yang merupakan warisan orang yang mengajarkan sekaligus mendiktenya untuk berpolitik itu. Habibie yang terkesan tidak tegas, plin-plan dalam mengambil keputusan merupakan faktor keberuntungan yang dimiliki oleh Xanana Goesmao untuk mengacaubalaukan rasa nasionalime rakyat Timor Timur.
Xanana Goesmao yang didukung oleh negara luar seperti Australia dan Portugal semakin menggebu-gebu untuk menyuarakan kemerdekaan. Akan tetapi, Presiden B.J Habibie berupaya keras untuk menampal luka lama Partai Fretelin itu. Sayangnya, manusia brilliant asal Indonesia itu tidak mampu menutup luka secara utuh, hanya ditutup sebagian saja, sebagian lagi dibiar terbuka.
Dua opsi (pilihan alternatif) yang dia tawarkan untuk memecahkan masalah Timor Timur yaitu pemberian otonomi khusus di dalam negara kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia. Portugal dan PBB menyambut baik tawaran ini. Selanjutnya, perundingan Tripartit di New York pada 5 Mei 1999 antara Indonesia, Portugal dan PBB menghasilkan kesepakatan tentang pelaksanaan jajak pendapat mengenai status masa depan Timor Timur atau United Nations Mission in East Timor (UNAMET).
Jajak pendapat diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 yang diikuti oleh 451.792 orang pemilih yang dianggap penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria yang ditetapkan UNAMET, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun luar negeri. Hasil jajak pendapat diumumkan pada 4 September 1999 di Dili dan di PBB. Sejumlah 78,5 persen penduduk menolak dan 21,5 persen menerima otonomi khusus yang ditawarkan. Dengan mempertimbangkan hal ini maka MPR RI dalam Sidang Umum MPR pada 1999 mencabut TAP MPR No. VI/1978 dan mengembalikan Timor Timur seperti pada 1975.
Memperkuat NKRI
Di mulai dari kisah visi-misi Amerika Serikat untuk memberangus komunis hingga drama bergabungnya Timor Timur, penulis mencoba memetik hikmah dari lepasnya Timor Timur. Dan ada dua item penting yang dapat kita petik yaitu penyelesaian masalah Timor Timur memberikan citra positif Indonesia di forum internasional, terlepas dari citra negatif yang datangnya dari kelompok-kelompok penekan untuk menjatuhkan mantan Presiden Habibie dan Indonesia secara ekonomis diuntungkan, sebagaimana kata Andi Yusran (1999: 127) dalam buku karangannya,.”Reformasi Ekonomi Politik”. Dengan lepasnya Timor Timur setidaknnya membawa keuntungan atau kepentingan strategis bagi Indonesia.
Pertama, secara politik, penyelesaian sesegera mungkin secara bijaksana dan bertanggung jawab atas masalah Timor Timur akan memberikan citra positif bagi Indonesia di forum internasional. Kedua, secara ekonomis Timor Timur bukanlah daerah ‘basah’ penghasil devisa negara, sebaliknya Timor Timur justru telah menjadi beban ekonomi bagi pemerintahan Indonesia, PAD sebesar 8 persen dari APBD setidaknya mengindikasikan posisi geo-ekonomi, Timor Timur tersebut minimal membawa konsekuensi ekonomis atas masalah Timor Timur sendiri.
Satu hal perlu menjadi catatan bagi masyarakat Indonesia untuk mempertangguh keintegrasian Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebagian besar suatu anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai batas-batas teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik dalam mana mereka menjadi warganya dan apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai sturuktur pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di atas wilayah negara tersebut. Hal ini seperti yang dikutip Nasikun (1983) dari Liddle.
Menurut Soleman B. Taneko, SH dalam bukunya yang berjudul, “Konsepsi Sistem Sosial dan Sistem Sosial”, untuk mendukung hal yang penulis maksud di atas diperlukan lima cara antara lain. Pertama, penciptaan musuh dari luar. Kedua, gaya politik para pemimpin. Ketiga, ciri dari lembaga-lembaga politik seperti birokrasi tentara, parpol dan badan legislatif. Keempat, ideologi nasional dan terakhir kesempatan perluasan ekonomi. Di saat usia Indonesia yang ke-62, semoga bangsa ini tetap utuh dan selalu jaya.